Upacara
PIAH gundah melihat
ulah anak bungsunya. Selepas salat Isya kemarin, si Buyung berpesan agar
membangunkannya sepagi buta. " Buyung, bangunlah! Subuh sudah datang
tu..." ujar Piah sambil mencolek tubuh anaknya itu. Si Buyung menggeliat
dan duduk terbangun. Ia mengocek-ngocek kedua matanya sebentar, dan dengan
langkah linglung menuju kamar mandi di belakang rumah.
"Mak, mana seragam
Buyung? " tanya Buyung selesai mencuci muka.
Heranlah Piah. Ia mengira
anaknya itu sedang bermimpi di dalam tidur berdirinya. " Hei Buyung,
mandilah dulu. Jangan cuma mencuci muka, biar sempurna bangunmu itu," ujar
Piah mendekati anaknya itu.
" Tak sempat, Mak. Nanti
Buyung terlambat," balas Buyung bergegas.
Buyung membongkar isi lemari di
kamar Piah. Di sana ia biasanya meletakkan seragamnya. " Itu, seragammu di
bawah dipan," ujar Piah menjulurkan telunjuknya ke sebuah arah. Seragam
berwana merah putih tergeletak lusuh di lantai. " Untuk apa kau cari, Amak
belum mencucinya," ujar Piah kepada Buyung yang bergegas mengenakan
seragam itu.
" Topi dan dasi Buyung
mana, Mak?"
Mengurut dadalah Piah. Terpaksa
ia membuka laci lemarinya, topi dan dasi kecil si Buyung tersimpang di sana.
" Apa lagi? Sepatu sama kaosmu ada di luar. Itu kotor sekali..." ujar
Piah.
Buyung sibuk sendiri dengan
seragam sekolahnya, padahal hari itu almanak merah. " Ayo, Mak. Antarkan
Buyung!" ujar Buyung sambil menarik tangan Piah.
Hari itu libur. Buyung minta
diantarkan bukan untuk pergi ke sekolah. Jarak sekolah dari rumahnya hanya
beberapa puluh meter. Buyung pun tak pernah meminta Piah mengantarkannya ke
sekolah itu. Sejak dari kelas satu, ia sudah bisa pergi sekolah sendiri.
Ternyata, hari itu Buyung minta diantarkan ke Balaikota. " Buyung mau
upacara di Balaikota," ujar Piah dalam hati mengingat kembali pesan
anaknya itu tadi malam secara keseluruhan.
Astaga! Piah memang tak pernah
tahu tentang upacara. Ia hanya sering melihat orang upacara saja. Kalau ada
upacara, pasti ia ada melihatnya. Piah tak pernah ikut upacara. Ia memang tak
pernah sekolah. Di sekolah, orang biasanya belajar upacara. Karena itu, Piah
tak pernah merasa berdosa karena tak bisa mengingat upacara. Pagi itu, ia
dengan sekuat tenaga mengayuh becak tua penginggalan almarhum suaminya hanya demi
anaknya agar tak terlambat mengejar upacara. Upacara di Balaikota dimulai pukul
delapan. Kalau ia sedikit bergegas, maka anaknya bisa sampai pukul setengah
delapan. Dengan demikian, anaknya itu bisa berdiri di barisan depan.
Ternyata, jauh dari perkiraan.
Piah terlalu cepat sampai di Balaikota. Ketika itu di lapangan masih lengang.
Hanya ada satu-dua laki-laki berbadan kekar yang berjaga-jaga di lapangan. Si
Buyung pun termenung menunggu orang-orang datang membentuk barisan.
Buyung tak punya prestasi
membanggakan di sekolah. Ia bernasib mujur saja dipilih oleh gurunya untuk
menjadi peserta upacara di Balaikota. Tak semua anak di sekolahnya ikut, hanya
sebagian saja. Buyung sangat bersemangat dengan pengalaman pertamanya itu.
Sejumlah barisan sudah
terbentuk di lapangan. Buyung berdiri di barisan paling depan. Piah meninggalkan
anak bungsunya di lapangan. Ada guru yang menemani anaknya itu. Ia hanya
melongokkan pandangan dari luar lapangan, seperti yang selalu dilakukannya.
Upacara dimulai beberapa waktu
kemudian. Bapak Walikota berdiri gagah dengan seragam putih bersih di tengah lapangan.
Piah jadi terkenang dengan almarhum suaminya. Walau Burhan tak segagah
Walikota, namun ia merasa dia lah lelaki terbaik yang diberikan Tuhan
kepadanya. Sayang, ia tak berumur panjang. Pergi menginggalkan dirinya dan
empat orang anak yang harus dibesarkan sendiri oleh Piah.
Upacara sudah berjalan setengah
waktu. Di tengah lapangan terjadi sedikit kekecauan. Walaupun orang-orang masih
berdiri tegak, namun sebagian nampak tergopoh-gopoh. Satu-dua, tubuh-tubuh
lelah berjatuhan. Pagi mulai berubah terik. Ada peserta upacara yang jatuh
pingsan. Ada anak SD, SMP, SMA, pegawai juga, bahkan ada seorang lelaki
berseragam tentara, ia tumbang juga. Tubuh-tubuh lunglai itu digotong ke sebuah
tenda besar di pinggir lapangan. Di sana, sejumlah orang berseragam putih sudah
menunggu untuk memberikan pertolongan. Dari luar lapangan, Piah menyaksikan
setiap detail kejadian itu. " Ah... si Buyung pingsan juga..." ujar
Piah memelas dalam hati.
Piah melihat dari jauh saja
tubuh si Buyung dipapah ke pinggir lapangan. Tak ada yang bisa dilakukannya.
Sampai upacara selesai, ia tak bisa mendekat. Piah pun tak perlu gusar dengan
keadaan anaknya. Si Buyung ditangani oleh orang yang tepat. Bahkan beruntung
sekali anaknya itu. Kalau ada peserta upacara yang pingsan, maka petugas berbaju
putih akan merawatnya dengan baik sekali. Mereka akan memberi minuman botol.
Ada pula makanan dalam sebuah kotak. Seumur-umur, baru kali itu si Buyung bisa
memakan makanan kotak. Piah tak tahu apa saja isi kotak makanan itu. Ia hanya
sering mendapati kotak-kotak yang kosong berserakan. " Beruntung kamu
Yung, bisa pula kamu makan makanan kotak," ujar Piah dalam hati.
***
UPACARA pun selesai. Bapak Walikota melakukan rutinitas
terakhirnya pada upacara itu, yaitu mendatangi barisan upacara. Dengan penuh wibawa,
ia berdiri di atas mobil Jeep terbuka. Di depannya seorang tentara yang tak
kalah beraninya melakukan pengawalan ekstra. Seperti biasa, Bapak Walikota
melakukan sesuatu yang tak biasa di upacara kali ini. Tahun lalu, ia
berkeliling lapangan dan memarahi sejumlah pegawai yang didapatinya tak serius
mengikuti upacara. " Keterlaluan! Bagaimana kalian sebagai abdi negara tak
bisa menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan negara ini,"
ujar Bapak Walikota dengan nada tinggi seraya disorot sejumlah lensa kamera
pewarta berita.
Kali ini, Bapak Walikota
menghampiri tenda di pinggir lapangan upacara. Satu persatu, ia bertanya kepada
sejumlah orang yang tumbang saat upacara tadi. " Bagaimana keadaannya,
Nak? " sapa Bapak Walikota bertanya. Ternyata yang ditanya adalah si
Buyung yang duduk lemas di tenda.
Disapa oleh Bapak Walikota,
Buyung nampak bingung. Tak pernah terbayangkan olehnya akan bertemu langsung
dengan orang hebat itu. Buyung tampak kikuk, susah berkata-kata. " Kenapa,
Nak. Sakit ya?" tanya Bapak Walikota lagi.
" E e...tidak, Pak,"
balas Buyung.
" Hm...tadi pagi lupa
makan ya?"
" I iya, Pak."
"Besok-besok, kalau mau
upacara atau pergi sekolah, makan pagi dulu. Biar kuat," ujar Bapak
Walikota lagi sambil mengangat lengatnya memberi semangat kepada Buyung. " Kenapa tadi tidak makan dulu?"
Bapak Walikota bertanya lagi.
"Amak belum masak,
Pak," ujar Buyung lugu.
"Waduh....!" ujar
Bapak Walikota ketus sambil memegangi keningnya. Dengan seyum ketidakpercayaan,
ia berbicara kepada pewarta berita yang dari tadi mengerumuninya. " Wah,
bagaimana ini. Orang tua seharusnya memberikan makanan yang sehat dan bergizi
untuk anak-anaknya," ujar Bapak Walikota.
Buyung memandang bingung saja
ulah lelaki di hadapannya. Tiba-tiba saja, Bapak Walikota mengelus-ngelus
kepalanya. " Kenapa Amaknya belum masak, sibuk kerja ya?" tanya Bapak
Walikota.
" I iya, Pak!"
" Lho, memang Amaknya
sibuk kerja apa?"
" I itu, Pak!
Amak..." ujar Buyung sambil menunjuk seorang perempuan di pinggir lapangan
dengan sebuah karung besar di tangannya.
Bapak Walikota membawa
pandangannya ke arah perempuan yang ditunjuk Buyung. Ia melambaikan tangan,
meminta perempuan itu untuk mendepat ke arahnya. " Ibuk, ini anaknya
ya?" ujar Bapak Walikota.
"I iya, Pak!" ujar
perempuan itu.
"Anak ibuk hebat, ia
semangat sekali upacara," ujar Bapak Walikota sambil mengangkat dua
jempolnya. " Tapi, sebelum pergi upacara, anaknya disuruh makan
dulu," sambung Bapak Walikota.
"I iya, Pak!" balas
perempuan itu singkat.
"Ya, sudah. Cepat baikan
ya, Nak," ujar Bapak Walikota sambil menipuk lembut bahu si Buyung. Bapak
Walikota pun berlalu, Buyung pun senang alang-kepalang.
***
"Ayo Buyung, kita pulang," ujar Piah.
Perempuan itu mengatar anak bungsunya itu ke arah becak tuanya yang terletak di
luar lapangan.
Becak kembali dikayuh menuju
pulang. Kali ini, kayuhan Piah agak sedikit berat. Di tengah jalan, si Buyung
berkata kepadanya. " Mak, kata Bapak Walikota, Buyung makan dulu sebelum
upacara," ujar Buyung.
" Ya..." balas Piah
singkat.
" Kata Bapak Walikota,
makanannya harus bergizi, Mak. Biar Buyung kuat," ujar Buyung lagi.
" Ya, ya..." balas
Piah lagi, singkat.
Buyung duduk bersemangat di
atas becak tua yang membawanya pulang. Anak lelaki bungsunya itu, bertanya lagi
kepada Piah. " Mak, nanti kita makan apa?"
Kali ini, Piah tak langsung
menjawab. Lama ia terdiam. Wajah diamnya mulai tersapu keringat pagi menjelang
siang. Perempuan itu memandang dingin karung besar yang dari tadi
dimain-mainkan si Buyung sepanjang jalan. " Hari ini, Mak tak bisa membeli
makanan..." ujar Piah dalam hati.
Piah menatap Buyung dengan
penuh senyum, hendak menghibur si putra bungsunya itu. " Orang-orang yang
upacara di Balaikota sudah makan dan minum di rumahnya masing-masing. Tak
banyak botol minuman bekas yang tersisa. Tuh, lihatlah karung besar itu.
Mudah-mudahan Mak bisa menjualnya..." ujar Piah.
Si Buyung merapatkan duduknya
ke arah karung besar itu. Karung itu dirangkulnya, seperti merangkul sebuah
harapan besar di sana. Ia tersenyum, beryanyi-nyanyi kecil menuju pulang.*
Padang, 17 Agustus 2014
Komentar
Posting Komentar