Tetangga Pemarah
Cerpen A.R. Rizal |
TENGAH hari, suasana panas
menyelimuti komplek kami. Kak Tina memaki-maki sendiri. Suaranya sampai ke
ujung jalan. Orang-orang di komplek bertanya-tanya, ada apa gerangan yang
diributkan perempuan yang baru saja melahirkan anak keduanya itu.
“Susah-susah
saya mencari uang, memberikan makan, membesarkan anak, eh seenaknya ditempeleng
orang!”
Selebihnya,
ocehan Kak Tina tak bisa lagi dicerna maksudnya. Bla, bla, bla...! Ia seperti
sedang membaca mantra-mantra. Sementara Kak Tina sibuk berkicau, Johan, anak
sulungnya yang baru belajar naik sepeda meraung sejadi-jadinya.
“Tuh
lihat!”
“Mana,
mana yang ditempeleng?” Bukde Noni memeriksa sekujur kepala Johan. Bocah itu
menggeleng sambil sesungukan.
Tak ada
yang ditempeleng, Kak Tina memang suka melebih-lebihkan. Johan tadi menabrak
pagar besi rumah Pak Ondon. Ia tersungkur jatuh ke dalam selokan. Johan malah
tertawa lebar, suaranya terdengar oleh Pak Ondon. Lelaki itu keluar dari rumah
dan menghardik Johan agar diam. Johan mati ketakutan mendengar suara Pak Ondon
yang sangar. Ia lari terpingkal-pingkal. Setelah sadar sepedanya masih
tertinggal di dekat pagar rumah Pak Ondon, Johan bersedih. Ketika Kak Tina
menghampirinya, barulah Johan menangis sejadi-jadinya.
“Lihat,
anak saya jadi begini!” teriak Kak Tina. Padahal, anaknya baik-baik saja.
“Sudah,
sudahlah....” Balas Bukde Noni. Kali ini, ia harus berusaha keras menenangkan
Kak Tina. Sementara, Johan sudah asyik tertawa-tawa dengan teman-temannya di
tanah lapang di ujung komplek.
Kalau
Kak Tina tidak ditenangkan, urusannya bisa panjang lebar. Apalagi, urusannya
berhubungan dengan Pak Ondon. Lelaki itu terkenal pemarah di komplek kami.
Setiap memandang orang, matanya selalu merah padam. Bertemu dengan seseorang,
apalagi orang yang tak disenangi, Pak Ondon seperti langsung hendak menghajar.
Pangkal lengannya saja sudah membuat sempoyongan. Celaka lagi kalau ia
meletuskan bedil ke kepala. Yah, Pak Ondon ke mana-mana selalu membawa
bedilnya.
Menurut
orang-orang komplek, bedil Pak Ondon merupakan bekas senjata ketika masih
menjadi tentara dahulu. Lelaki itu pensiunan tentara. Tapi, itu kata orang-orang
yang selalu melihatnya memakai celana pendek berwarna loreng.
“Tabiat
lelaki itu memang bawaannya sebagai pensiunan tentara,” ujar Pak Kuandi yang
tinggal bersebelahan dengan rumah Pak Ondon.
“Apa
tentara itu mesti marah-marah?” sela Mas Mon ketika berbincang dengan Pak
Kuandi di pos ronda komplek kami.
“Di
markas tentara kan seperti itu.”
“Pak
Johan juga bekas tentara, tapi dia tak pernah marah-marah.”
“Pak
Johan kan komandan. Kalau Pak Ondon, paling prajurit rendah. Yang namanya
prajurit itu, ya makanannya dihardik-hardik komandan. Karena sering dihardik,
Pak Ondon melampiaskannya kepada orang-orang komplek.”
Mas Mon
mengangguk-anggukkan kepala. Pak Kuandi membalasnya dengan senyum tersungging
di sungutnya yang tipis. Dari laki-laki itu, orang-orang komplek kami menjuluki
Pak Ondon sebagai laki-laki pemarah.
***
SURTI menjadi pelampiasan
kemarahan Pak Ondon selanjutnya. Gadis putus sekolah itu pulang sehabis Isya
dengan diboncengi Maman, pacarnya yang meminta jadian di counter HP ketika Surti sedang membeli pulsa. Maman mengegas
motornya keras-keras, persis di depan rumah Pak Ondon. Lelaki itu terkejut
alang-kepalang. Ia keluar dengan membawa bedil di tangan kanan. Nampak Maman
olehnya, langsung dihardik.
“Hoi...
Brisik!”
Maman
merasa diteriakki sebagai maling. Ia kehilangan akal. Motornya langsung dipacu
kencang-kencang. Surti yang sedang berboncengan di belakang hilang
keseimbangan. Ia terjungkal. Kuku kakinya patah, Surti menangis sambil
memanggil-manggil emaknya.
Heboh
pula orang-orang komplek kami malam itu. Sebagian memaki-maki Pak Ondon dalam
hati. Laki-laki itu dikatai si raja tega.
“Tega-tenganya
menghardik Surti. Ia kan anak yatim!”
“Ya, ya,
ya... Sungguh tak berperasaan.”
“Mungkin
laki-laki itu kebanyakkan makan daging kambing. Cepat sekali naik tengsinya.”
“Paling
masa kecilnya tak bahagia....”
Orang-orang
komplek kami saling berbisik untuk membenarkan prasangka masing-masing. Pernah
mereka bersepakat untuk melabrak Pak Ondon. Mufakat sudah diputuskan, namun tak
satu pun yang berani bergerak. Jangankan hendak melabrak, melihat Pak Ondon
dari jauh saja mereka tak berani.
***
KALAU ada yang belum
dimarahi di komplek kami, itu pastilah Suril. Pemuda itu memang terlalu baik untuk
dimarahi. Walau pengangguran, ia dikenal cepat kaki, ringan tangan. Orang-orang
di komplek kami sangat terbantu akan kebaikannya. Apa saja yang
dimintatolongkan, Suril pasti menyanggupinya. Buk Mimin meminta membersihkan
kolam di depan rumahnya. Suri menyelesaikannya dalam waktu setengah hari. Di
ujung siang, Buk Mimin memberinya secangkir kopi dan sepotong roti hambar.
Pemuda itu kelihatan teramat senang.
Dua hari
yang lalu, Pak Sami meminta Suril menyabit rumput di pinggir jalan komplek.
Pemuda itu melakukannya seharian penuh. Pak Sami hanya melihat-lihat dari jauh.
Jangankan menyuguhkan secangkir kopi dan sepotong roti, air putih saja tak
terbasa-basikan olehnya. Suril sudah merasa senang menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerjaan itu seperti tugas kerakyatan yang diberian Pak Sami, Ketua RT di
komplek kami.
Kadang,
Suril melakukan berbagai pekerjaan tanpa diminta. Ia bersitungkin menyelesaikan
pos ronda. Mencor lantai, menyemen dinding, hingga memasang atap di tengah
terik mentari. Sementara, laki-laki di komplek kami duduk-duduk saja sambil
sibuk bercanda ria ketika bergotong-royong membangun pos ronda itu. Satu lagi
pekerjaan Suril yang tak perlu diminta, yaitu membersihkan selokan. Hingga
suatu ketika Suril membersihkan selokan di depan rumah Pak Ondon, pemuda itu
akhirnya kena marah juga.
“Kau
ambil uang ini! Kalau tidak, kutembak kepalamu!” hardik Pak Ondon.
“Ampun,
Pak! Ampun...!” Suril memegangi kepalanya sambil menjerit ketakutan. Dengan
hati terpaksa, pemuda itu menerima juga uang pemberian Pak Ondon.
Kemarahan
Pak Ondon kepada Suril membuat orang-orang komplek kami gerah. Semua sudah
dimarahi Pak Ondon, orang-orang komplek kami kemudian membayangkan hal terburuk
yang akan dilakukan laki-laki itu.
“Jangan-jangan,
ia benar-benar menembakkan bedilnya.”
“Hah,
celaka!”
***
TERJADI pembunuhan di
komplek kami. Pak Kuandi mati. Tetangga sebelah rumahnya, Pak Ondon dibawa
polisi. Hal terburuk yang dibayangkan orang-orang komplek kami terjadi juga.
“Laki-laki
itu membunuh Pak Kuandi!”
“Kepalanya
ditembak. Benaknya pecah, darah berceceran di mana-mana. Ih, serem...!”
“Sungguh
kejam!”
Orang-orang
komplek kami saling menduga-duga bagaimana kejadiannya. Sementara, menurut
versi polisi, kronologis kejadiannya adalah:
Pak Kuandi mendengar Kak Tina menjerit. Perempuan itu menjerit karena
melihat tikus keluar dari selokan di depan rumahnya. Tikus keluar dari selokan
karena terusik suara gaduh dari maling kambuhan yang menjarah di rumah Kak
Tina. Pak Ondon muncul dari dalam rumah sambil membawa bedil. Dengan reflek
yang baik, laki-laki itu menodongkan bedilnya ke arah tikus yang muncul dari
selokan. Blas! Bedil menyala. Dari suaranya, jelaslah itu berasal dari senapan
angin. Peluru kecil mengenai kepala tikus. Kepala itu pecah, darah berceceran
di jalan dekat selokan. Pak Kuandi menginjak darah yang berceceran itu. Ia tergelincir.
Kepalanya terbentur tubuh Pak Ondon. Laki-laki itu merangkul Pak Kuandi. Namun
sayang, Pak Kuandi meninggal karena serangan jantung. Melihat seseorang mati
dalam rangkulan Pak Ondon, maling kambuhan yang muncul dari dalam rumah Kak
Tina ciut nyalinya. Maling kambuhan mengangkat kedua tangan karena merasa Pak
Ondon menodongkan bedil kepadanya.
Begitulah
kejadian yang sebenarnya. Polisi membawa Pak Ondon karena ingin berterima kasih
kepadanya sebab telah membantu menangkap maling kambuhan yang paling dicari. Tapi
sayang, orang-orang di komplek kami tak menghiraukan. Mereka terlanjur marah
kepada Pak Ondon.*
Padang, Februari 2015
Komentar
Posting Komentar