Pewaris

Cerpen A.R. Rizal


SEMBILAN anak Kakek sudah berkumpul di rumah panggung. Empat anak laki-laki dan lima anak perempuan. Kakek memiliki sebelas anak. Enam anak laki-laki, lima anak perempuan. Sebenarnya ada tujuh anak laki-laki Kakek, tapi seorang meninggal dunia sebelum sempat dilahirkan.

"Kutar terlambat datang. Katanya, ia banyak pekerjaan."

Buyus menghela nafas panjang. Walaupun berasal dari ibu yang berbeda, ia adalah anak tertua yang selalu didengarkan perkataannya. Hanya Kutar yang selalu menentang perintahnya. "Dia akan menyesal seumur hidup," ujar Buyus menanggapi kabar yang disampaikan Sam.

Malam itu, Kakek ingin melihat anak-anaknya untuk terakhir kali. Ia sudah kepayahan di rumah sakit. Dokter mengatakan tak ada lagi harapan. Alat bantu penafasan membuat Kakek sangat menderita. Lelaki itu meminta dibawa pulang saja. Kalau ajalnya dicabut saat itu, Kakek ingin melepasnya di rumah, tempat yang paling dekat dengan mendiang Nenek. Tapi, itu hanya alasan Kakek saja. Sebenarnya, Kakek tak bisa menghembuskan nafas terakhir kalau berada jauh dari Inyiak, harimau besar yang dipeliharanya sejak lama.

"Inyiak sudah datang," sela Mariana setengah berbisik. Perempuan itu bergegas ke ruang belakang. Ia menyiapkan tiga tekong nasi ditambah dua butir telur ayam kampung yang sudah direbus. Nasi dan telur itu diletakkan di atas niru. Mariana membawa niru ke perkarangan samping yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Kalau terdengar bunyi kerisik di atas daun pisang kering, berarti Inyiak datang. Mariana tak pernah melihat harimau besar itu. Ia hanya menggantikan pekerjaan Nenek untuk menyediakan makan Inyiak. 

"Kemarilah, Sam!" Suara Kakek terdengar lemah memanggil dari dalam kamar. Kakek sering berbicara dengan anak laki-laki nomor tiganya itu. Kakek selalu membicarakan hal penting kepada Sam. Contohnya saja, ketika ada orang yang hendak merampas sebidang sawah yang biasa digarab Kakek untuk bertanam padi. Sam yang bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan menguruskan sertifikat tanah itu. Demikianpun untuk menikahkan adik perempuannya, Sam yang mengurus semuanya. Kakek pernah meminta Buyus untuk menjual sebagian sawah untuk membiayai pernikahan Lena, anak perempuan Kakek yang paling bungsu. Buyus menolaknya. Anak laki-laki tertua Kakek itu beralasan tanah adalah aset yang berharga. Beberapa tahun ke depan, tanah akan mahal nilanya, sehingga sayang kalau dijual. Buyus hanya bisa melarang, namun ia tak mau menyumbang uang untuk pernikahan adik perempuannya. Sam akhirnya menggadaikan sertifikat tanah ke bank, sehingga pernikahan Lena digelar dalam sebuah alek besar. Sam memang selalu bisa diandalkan.

"Kamu harus menerima warisanku, Sam..." ujar Kakek berbisik ke telinga Sam. Perkataan Kakek terdengar jelas sampai ke luar kamar. Anak-anak Kakek yang lain berharap-harap cemas mendengar hal itu.

***

BEBERAPA hari lalu, Kakek hendak menyerahkan warisan kepada Bujang, anak laki-lakinya yang paling kecil. Bujang berwatak keras. Kakek mengira, Bujang pantas mendapatkan warisannya.
         
“Alamak! Harimau, harimau!” Bujang berteriak ketakutan. Ia lari terkencing-kencing. Ternyata nyalinya tak sesangar sebutannya sebagai preman di pasar. Kakek mencoret Bujang dari daftar penerima warisan.
        
Kakek pernah juga hendak memberikan warisan kepada Buyus. Sebagai anak laki-laki tertua, sebenarnya Buyus lah yang paling pantas. Tapi, perkataan anak satu-satunya Kakek yang bisa jadi sarjana itu membuat Kakek marah besar. “Mana ada orang bisa sembuh dengan rumput dan asap kemenyan. Itu penipuan!” tuduh Buyus.

Kakek hendak menghardik anak laki-laki tertuanya itu, tapi tak pantas karena Buyus sudah besar. Kakek hanya memilih diam. Kalau ia berkata-kata, maka Buyus akan terus mendebatnya. Buyus akan menyebutkan banyak dalil logika untuk membumbui ucapannya. Kakek pasti kalah. Lelaki itu hanya bisa menyesali telah menyekolahkan anaknya itu tinggi-tinggi. “Dari rumput dan kemenyan itu kamu bisa sekolah,” sela Kakek menumpahkan kesalnya kepada Buyus.

Kakek dikenal pandai mengobati orang. Tapi, tak semua penyakit bisa disembuhkannya. Kakek hanya bisa mengobati penyakit mata. Segala penyakit mata, sembuh olehnya. Mulai dari kelimpanan, mata merah, rabun, hingga penyakit katarak, kata orang-orang sekarang. Tak perlu operasi, tak pakai obat-obatan, Kakek hanya menyemburkan asap kemenyan ke mata pasiennya. Asap itu disemburkan dengan rumput yang dibuat ikatan kecil. Sebelumnya, Kakek meletakkan kemenyan di atas sabut kelapa yang sudah kering. Di atas sabut itu kemenyan dibakar. Kakek menimang-nimang asap kemenyan di wajah pasien. Asap itu kemudian disemburkan dengan ikatan rumput ke mata. Mata pasien berair dibuatnya. Setelah itu, ia akan sembuh.
          
Kakek bukan dukun. Ia hanya senang menolong orang. Kalau ada yang memberikannya uang, Kakek menerimanya sebagai rezki yang tak boleh ditolak. Pekerjaan Kakek sebenarnya adalah bertani di sawah. “Aku akan memindahkan kepandaian ini kepadamu,” ujar Kakek suatu ketika kepada Sonton, anak laki-lakinya yang nomor lima.
          
Sonton yang paling memenuhi kriteria mewarisi kepandaian Kakek. Bahkan, Kakek sudah mempersiapkannya sejak lama. Anak laki-lakinya itu sudah diajarkan bagaimana memilih rumput yang baik. Ia pun sudah bisa membakar kemenyan, sehingga asapnya mengepul sempurna. Satu hal yang belum diajarkan Kakek adalah soal membaca mantra-mantra. Tak sembarang orang bisa melakukan itu. Kakek menunggu waktu yang tepat untuk Sonton. Sampai Kakek merasa sudah saatnya, anak laki-lakinya itu malah meninggal dalam sebuah kecelakaan.
          
Kakek kehilangan harapan. Ia tak mungkin berharap kepada Kutar. Kakek menganggap anak laki-lakinya yang nomor dua itu sudah hilang. Ia tinggal dekat dengannya, tapi Kutar tak pernah berkunjung. Ia sibuk dengan anak dan istrinya sendiri.
          
Bagaimana dengan Jufri? Entah dimana anak laki-lakinya yang nomor empat itu menimba ilmu, Kakek merasa Jufri terlalu hebat. “Abak musryik!” ujar Jufri ketika Kakek pernah berbicara akan memindahkan kepandaiannya. Kakek sangat terpukul. Wajahnya pucat pasi. Kakek takut kepada Jufri.

***

 “Tinggal kau, Sam!” bisik Kakek.
          
Sam tak memberikan jawaban. Ia menatap Kakek dalam-dalam. Diusapnya rambut laki-laki yang penuh uban itu, air mata menetes di wajah Sam.
          
Apa saja permintaan Kakek, selalu diturutinya. Sam telah mencoba. Sebenarnya, ia pernah memiliki kepandaian mengobati mata orang. Kakek mengajarkannya dengan baik. Mantra-mantra penyembuh mata hafal di luar kepalanya. Kepandaian Sam bahkan mengalahkan Kakek. Tapi, itu tak berlangsung lama. “Aku tak bisa lagi bekerja. Mana mungkin bisa hidup dengan mengobati mata orang,” ujar Sam menyerah.
          
Sore itu, Sam pulang dengan seragam kumal. Sudah seminggu ia tak mandi. Rambutnya terasa gatal. Wajahnya dipenuhi daki berwarna hitam. Daki itu berbau tanah, kadang berbau air selokan, kadang pula seperti bau harimau. Bau itu tak boleh dihilangkan.
          
Kepandaian Kakek didapat dari warisan. Warisan itu diberikan oleh Inyiak, harimau besar yang dipelihara Kakek. Ketika Kakek memberikan kepandaiannya kepada Sam, harimau besar itu jadi peliharaan Sam. Setiap malam, ia memberikan makan, tiga tekong nasi dan dua butir telur ayam yang direbus. Sekali sepekan, Inyiak dimandikan. Cakar-cakarnya harus dibersihkan. Kalau tidak, Inyiak akan meraung-raung karena gelisah. Satu lagi, kotorannya harus dikubur di tanah. Kalau kotoron Inyiak sampai didapatkan oleh orang lain, maka kepandaian yang diwariskannya akan berpindah.
          
“Tidak, tidak, Abak! Aku tak bisa menerima warisan itu.”
          
Kakek memalingkan wajahnya. Mulut laki-laki tua itu meringgis. Air matanya jatuh berceceran membasahi bantal.

***

SAM dan delapan anak Kakek sudah berkumpul di ruang tengah. Kutar, anak laki-laki Kakek yang nomor dua akhirnya tak jadi datang. Buyus menggerutu karena ulah adiknya itu. Lena, anak perempuan Kakek yang paling bungsu hendak pamit. Di rumah, suaminya yang baru pulang bekerja dari pulau seberang menanti seorang diri. Mariana, yang tinggal di rumah panggung masuk ke kamarnya. Ia kelihatan lelah sekali. Jufri sibuk mengaji. Bujang, asyik minum kopi dan mengisap rokok di serambi depan. Sementara, anak-anak Kakek lainnya duduk menanti di ruang tengah.
          
“Abak sudah pergi…!” ujar Sam ketika keluar dari kamar. Anak-anak Kakek saling berpandangan. Anak laki-laki meneteskan air mata, anak-anak perempuan Kakek meraung sejadi-jadinya.
          
Jufri yang sangat terpukul merasa belum percaya. Ia bergegas ke dalam kamar untuk memastikan. Kosong. Hanya ada sebuah bantal di atas dipan berselimutkan kain putih yang sudah berantakan. Jufri menemukan jejak tanah di atas kain putih itu. Ada pula bulu-bulu halus berserakkan. “Aku berharap bisa membacakan syahadat untuk Abak…”
          
Jufri tertunduk lesu di samping dipan. Sam mendekatinya. Ia merangkul pudak adik laki-lakinya itu untuk menenangkan hatinya. “Tak usah bersedih. Abak tak kan pergi sebelum Inyiak mati.”*

Padang, Februari 2015


Komentar

Postingan Populer